Pemilu – Fenomena politik uang dan vote buying masih menjadi sorotan dalam Pemilu 2024, menurut pandangan Arya Budi, seorang pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Arya mengkritisi kurangnya niat dari pemerintah dan KPU RI untuk mereformasi aturan kepemiluan, yang menyebabkan praktik-praktik ini terus berlanjut. Menurutnya, data kualitatif menunjukkan bahwa politik uang semakin marak, terutama di tingkat pileg, sejak penerapan sistem proporsional terbuka pada tahun 2009.
Arya Budi menjelaskan bahwa maraknya politik uang dan vote buying di picu oleh ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah. Dengan pendapatan rendah, terutama di kalangan pemilih dengan ekonomi menengah ke bawah, praktik politik menjadi sangat efektif. Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan juga ikut memainkan peran, di mana kemenangan caleg di tentukan oleh jumlah suara terbanyak.
Meskipun terdapat laporan maraknya politik, Ketua Bawaslu DIY, Mohammad Najib, mengklaim bahwa pihaknya belum menemukan fakta yang memadai untuk dapat di proses. Menurutnya, politik harus memiliki subjek hukum yang jelas, termasuk pelaksana kampanye, peserta pemilu, atau tim kampanye. Ketidakjelasan identifikasi pelaku dan subjek hukum menjadi hambatan dalam penanganan kasus politik uang secara hukum.